@relativitas on Instagram

Monday, January 11, 2016

Anak Seni di dalam Kelas

Gue mau cerita sedikit tentang hal-hal yang gue dan beberapa teman gue hadapi sebagai penggila (belum gila, sih) seni saat harus dikurung di dalam balok besar berongga bersisikan tembok yang disebut khalayak ramai sebagai "kelas", tempat dimana seseorang mempelajari hal-hal yang terkesan dipaksakan.

Gue punya masalah yang sebenarnya bagi gue sendiri bukan sebuah masalah, tangan gue gak pernah bisa berhenti bergerak. Gue bisa mencerna pelajaran kalau gue mendengarkan guru berceramah sambil menggambar. Masalahnya, hal ini tidak diterima oleh golongan tertentu yang orang sebut sebagai "guru". Menurut mereka tingkah seperti itu annoying, tapi bagaimana caranya gue bisa mencerna pelajaran kalau gak sambil menggambar?

Sebenarnya menggambar di kelas itu bagi gue, dan seharusnya, gak ada masalah sama sekali. Lah gue gambar pake tangan sendiri, kertas punya sendiri, gak ganggu siapa pun, kan? Kecuali gue gambar sambil teriak-teriak, lompat-lompat, gantungan di kipas angin, baru itu bisa dipermasalahkan. Sebenarnya gue gak terlalu anti sama yang namanya sekolah, tapi yang gue gak suka adalah sekolah gak bisa menerima perbedaan, mengharuskan semuanya sama.

Pernah selama pelajaran agama, gue sama temen semeja gue (dia pengen masuk FSRD juga) gambar dari awal pelajaran. Guru menerangkan kita berdua tetap bisa mencerna. Guru bertanya kita berdua bisa menjawab. Kita berdua gak berisik. Lalu apa masalahnya? Seharusnya gak ada. Tapi, pada suatu ketika guru tersebut sadar atas apa yang sedang kami lakukan, menggambar. Dia mendatangi kami dan menyita gambar-gambar kami, bahkan Micron Brush gue ikut disita! Mimpi apa gue semalem! Sejak saat itu kita berdua tidak diperbolehkan melakukan apapun selain mendengarkan. Sangat menyiksa.

Sekolah seharusnya sadar kalau tiap anak diberikan kemampuan belajar dengan cara berbeda-beda, ada yang audio, visual, dan kinetik. Nah, kebetulan di tes IQ ada chart yang menunjukkan kalau gaya belajar gue setara ketiganya, ketiganya bernilai 85. Jadi, sulit buat gue (dan anak-anak pemabuk seni lainnya) untuk bisa belajar tanpa menyentuh pensil dan menggoreskan kreativitasnya di atas kertas selama pelajaran berlangsung.

Sebuah ide bisa datang secara tiba-tiba dan mood untuk menggambar tidak datang setiap saat. Bagaimana jika ide tersebut datang saat kita berada di dalam kelas? Apa kita harus mencatat ide tersebut baru kemudian direalisasikan kemudian? Ingat, mood menggambar tidak datang setiap waktu.

Friday, January 8, 2016

(Pengen) Masuk FSRD ITB

Gedung FSRD ITB
Dari dulu sampai sekarang, gue gak bisa dipisahkan dengan yang namanya pensil dan kertas, walaupun pisah, itu pasti saat gue mandi, berenang, naik roller-coaster, naik sepeda, dan lain-lain. Kenapa? Karena gak mungkin bisa gambar saat gue lakuin aktivitas tersebut, gak perlu ditanya. Gue bukan pesepeda ekstrim yang bisa gambar sambil ngayuh pedal. Oke, itu gak penting.

Gue pertama kali gambar di usia sebelum menginjak bangku Taman Kanak-kanak. Dari sanalah perjalanan gue dimulai. Sekarang, hidup gue hampir seluruhnya dicurahkan untuk seni. Jadi jangan bingung kenapa gue mau masuk FSRD.

Kadang gue merasa ragu di saat anak lain mau masuk jurusan-jurusan seperti psikologi, ekonomi, bisnis, dan sebagainya. Masa depan mereka terasa menggiurkan, lebih pasti. Sedangkan gue dan teman-teman yang mau masuk FSRD pasti punya keraguan, apakah gue akan duduk di kursi studio sembari sketsa sana-sini, dapat banyak uang dan job, atau gue akan berakhir di pinggir jalan Kota Tua, mengais rejeki yang tidak dapat dibilang banyak dengan goresan sebuah pensil. Tapi ya, itu semua kembali ke passion kita masing-masing. Siapa bilang duduk sambil gambar muka orang di pinggir jalan gak bisa bahagia? Tapi, anak cucu mau makan kertas?

Lalu, apa kendalanya masuk FSRD ITB? Untuk masuk jurusan-jurusan seperti yang telah gue sebutkan di atas, kita bisa belajar dengan rajin dan tekun untuk memperoleh bangku kuliah yang diminati. Tapi, kalau FSRD itu saja tidak cukup. Ada juga tes gambar yang boleh dibilang di luar nalar. Imajinasi dan kreativitas kita harus dipaksa keluar dari dunia normal. Lo harus berhadapan dengan gambar suasana, yang mana sifatnya dapat dibilang cukup subyektif. Jurusan-jurusan lain menilai kertas jawaban dengan menggunakan kunci jawaban yang jawabannya sudah pasti, sedangkan FSRD harus meyakinkan penilai dengan apa yang kita gambarkan, sehingga tidak ada misunderstanding dengan ide cerita kita. Jika ada satu penilai yang salah mengartikan gambar kita, nilai berkurang.

Mau masuk FSRD ITB juga punya kendala lain. Untuk jurusan lain, informasi yang diberikan sekolah cukup aktual dan informatif, sedangkan FSRD pihak sekolah dapat dibilang tidak terlalu mengerti, bahkan yang lebih parah tidak peduli. Akhirnya semua dikembalikan pada murid. Kita yang harus mengusahakannya sendiri, langsung menghubungi pihak universitas.

Masuk FSRD tidak cukup bisa gambar. Jadi jangan berpikiran kalau ada orang yang gambarnya super-hyper-realistic sudah fix masuk FSRD, setidaknya itu yang dipikirkan orang awam. "Wah gambar lo bagus banget. Fix FSRD!" Bukan begitu. Yang diinginkan pihak universitas adalah ide. Bisa saja anak yang dinilai orang banyak kalau gambarnya kurang bagus, malah dia yang diterima. Itulah kesulitan yang harus dihadapi masuk FSRD. Orang yang sudah sangat pandai menggambar bisa saja saat tes masuk kehilangan ide, tapi orang yang gambarnya kurang bagus malah dapat ide gila-gilaan saat tes masuk.

Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, ini tujuan gue! Semoga kelak di tahun yang akan datang gue bisa ngubah judul post ini dari "(Pengen) Masuk FSRD ITB" menjadi "Masuk FSRD ITB". Gue doain semoga semua yang baca dan mengamini post ini akan disayang oleh Pak Tarno. Amin!